Wednesday, February 22, 2012

Prolog: Siapa dia?

Kamu. Kamu seperti sepercik api yang tak kunjung padam, setetes air yang tak pernah mengering, sekuntum mawar yang tak akan layu. Kecil, simpel, namun bermakna dan membekas.

Aku masih ingat saat jari kita bertautan. Tidak pada kencan pertama, kedua, atau ketiga. Aku ingat, kita mulai berpegangan tangan di kencan keempat. Saat aku berjalan melewati rak buku fiksi di toko buku lama dan menggapai Shakespeare's Midsummer Night's Dream, membolak balik halamannya yang termakan waktu, terlihat lelah dan rustic, memuat bau buku tua yang sangat tajam. "Aku mau ini, aku boleh beli kan?" Kalimat pertama yang aku ucapkan di kencan tersebut. Saat kamu menggapai bundelan tua, meraba kertasnya, "Shakespeare lagi, kamu yakin? Aku nggak mau kamu menggantung harapan aku bisa sepuitis dia. Yang lain aja, yang lebih realistis." ujarmu, mengembalikan buku itu dirak. Nyaris saja kamu berbelok ke lorong buku sebelah, tapi aku reflek menarik tanganmu dan merengek, "Please? Siapa juga yang mau berharap kamu sepuitis Shakespeare, tapi aku mau baca Midsummer Night's Dream?" Dan saat itu aku sadar. Tanganmu ada ditanganku, dan matamu melekat di sentuhan reflek yang kuberikan. Aku menarik tanganku, melepaskannya dari ikatan tersebut, dan berkata, "Yasudah kalau nggak boleh. Aku cari yang lain." Tapi saat aku berbalik arah, menuju rak buku lain untuk mencari Proust, kamu meraih lenganku, menarik Midsummer Night's Dream dari rak, dan menggeretku ke kasir. 

"Satu. Nggak boleh bete sampai satu minggu kedepan." Mana bisa aku bete, kalo aku punya bacaan kualitas Shakespeare ditangan? Saat aku memekik kegirangan, kamu menggapai sesuatu dipunggungku dan mengeluarkan benda manis itu. "Buat kamu. Aku nggak bisa berkomunikasi dengan kata, but action is better than words." Mawar yang sudah mengering itu masih kusimpan dibagian paling belakang lemari pakaianku.

---

Entahlah, antara mata hijauku yang terlalu cerah atau rambut coklatku yang terlalu pekat. Orang orang tidak pernah menanggapku serius. Namun kamu, kamu percaya ada seorang kutu buku berantakan yang memakai kacamatanya terlalu longgar, yang menyelami buku lima ratus halaman dan mendengarkan Frank Sinatra dengan vinyl dalam diriku. Yang impulsif, yang terlalu sederhana untuk dirusak. Aku sedang menunggumu dibangku kedai kopi klasik, beraroma espresso, bernuansa coklat dengan kontras karamel, berperabot rotan dan kaca hitam yang gelap, misterius. Saat kamu datang, menggunakan sehelai kemeja yang lelah dan celana jeans yang kusut. "Ibu, ibuku baru saja terkena serangan jantung."

---

Aku terduduk di bangku rumah sakit modern itu sambil mencengkram segelas kopi berwarna hitam pekat. "Aku terlalu muda, aku nggak tau ibu kenapa." "Kamu kira aku juga tau?" Aku menguatkan cengkramanku pada gelas kopiku. Gelas kertas itu nyaris saja tertekan dan menumpahkan sebagian isinya diatas rok pastelku. Dia hidup tanpa ayah. Sesaat setelah ia lahir, ayahnya mengalami kecelakaan di jalan tol dan meninggal di ambulans. Aku lupa apa rasanya dibelikan mainan oleh ayah, diajari memanjat pohon dan menerbangkan layangan. Saat dia mengatakannya, aku langsung memotong dialog tersebut. Kamu nggak lupa, kamu nggak pernah merasakan. Ironis. Dan saat ini, ibunya terkulai didalam cardiac intensive care unit. Aku tidak bisa membayangkan berada di posisinya sekarang. "Kamu sudah telpon Mommy?" tanyanya saat aku memutuskan untuk memesan segelas kopi lagi. "Sudah. She sends her love. Mungkin besok dia datang dan menjenguk Ibu."

"Keluarga Ibu Ararya?" seorang dokter pria berkacamata keluar dari balik pintu putih berkaca bening. "Saya anaknya. Bagaimana keadaan Ibu, dok?" tanyanya. Aku menahan diriku untuk turut berdiri dan mengajukan sepuluh pertanyaan tentang kondisi ibu sekarang. "Ibu sudah semakin membaik, walaupun masih butuh beberapa hari untuk pemulihan." kata Dokter Stolin, membolak-balik kertas dipapan jalannya. "Beberapa saat lagi ia akan terbangun, kamu bisa mengunjungi ruangannya di kamar 254." Ia tersenyum tipis dan kembali menghilang dibalik pintu putih itu. "Kamar 254 adalah kamar ekonomi. Aku tidak bisa membiarkan Ibu pulih diruangan yang tidak kompeten. Aku akan coba bicara pada suster." Namun aku sudah tak bisa melihat wajahmu yang memucat dan terlihat pias setiap menit. Walaupun ragu, aku membiarkan kata-kata yang menggantung diujung lidahku itu bebas, mengalun hingga telingamu. "Pergilah ke kamar Ibu, aku akan mengurus kepindahan ibu."

Aku dan dia, tidak berpacaran. Namun, tidak bisa disebut teman. Kami berlaku berlebihan untuk disebut sahabat. Kami tidak berpacaran, tapi kami berkomitmen. Untuk bersama disaat tipis dan tebal, disaat bosan dan terhibur. Kami sudah berkomitmen sejak aku umur tujuh belas; Aku berumur sembilan belas sekarang. Dan kamu, tidak terlihat seperti laki-laki berumur dua puluh. Kami berkenalan di kampus, cliche. Aku jurusan komunikasi, dia jurusan teknik mesin. Kami adalah dua individu yang sangat berbeda, tapi punya banyak kesamaan. Orang tua kami selalu mengira kami punya tujuan yang statis, sayangnya, tujuan kami cuma satu. Bahagia. Dan terkadang, bahagia hanya ada di kondisi tertentu, dimana semuanya berubah dan akan menyerang waktu.

---

Aku mencoba membuka mataku. Aku terbangun diatas ranjang empuk berbantal bulu angsa yang dilapisi sarung sutera. Aku mendengar derap dentum sol sepatu beradu dengan lantai parkit kamarku. "Selamat pagi, Aleafea. Air mandimu sudah siap."

---

Satu pertanyaan; siapa lelaki itu?

No comments:

Post a Comment