Saturday, April 7, 2012

April: Great minds think alike.

Or clash as a deadly stormy hurricane. Here's a short story to sum up pretty much what I've been lately.

---

Terlalu lama untuk membiarkannya terluka.

Rambutnya yang panjang dan menjuntai hingga pinggang bergoyang lembut saat ia memiringkan kepalanya dalam fokus. Segumpal tanah liat yang terbuang itu berhasil ia bentuk menjadi sebuah vas kecil yang ia ukir dengan kembangan mawar mini dan dedaunan yang terangkai dalam untaian yang melingkar. Sebait lagu bernada santai mengalun indah, menenggelamkannya lebih dalam ke dasar imaji yang mengental. Sebagian sisi vas yang sudah mengeras membuat nafasnya memburu dan menyegerakan tekana tekanan halusnya pada permukaan tanah coklat. Lentik jarinya dan kilau kukunya yang dipoles cat berwarna merah jambu menari lincah, sekaan dikejar ribuan atom oksigen yang siap menabrak vasnya. “Akhirnya!” Ia menggumam sambil mengangkat dan meletakan vasnya disebelah oven pembakaran. Ia mencuci tangannya dan bersegera berangkat sekolah.

Ia tertidur pada pukul delapan dan terbangun pada pukul tiga. Tujuh jam padat yang ia isi dengan mimpi abstrak dan bayangan seorang lelaki bersenyum tipis. Seakan dirinya adalah sebuah kapal yang berhenti di tengah samudera waktu yang sedang pasang. Diam, terombang-ambing, dan tak lama lagi akan karam. Putaran waktu tidak berefek panjang pada kecintaannya pada sesosok tampan berbadan tegap yang memiliki mata kacang almon, berbingkai seberkas alis tebal yang simetri, berjari panjang yang berkapal karena terlalu sering memetik senar senar gitar, dan berbetis besar karena terlalu sering mengayuh pedal sepeda di sore teduh yang menyelimuti Kota Bogor. Seiring peputaran waktu, kesadarannya tidak berkurang atas kenyataan yang siap menindasnya hidup hidup, bahwa sang pangeran bersepeda tidak lagi, dan tidak akan lagi mencintainya.

Bunyi bel sekolah klasik yang menandakan habisnya jam pelajaran membangunkannya dari seberkas mimpi yang terus mengikutinya, dari bangun hingga tidur. Mengingat masa ketika aljabar dan energi potensial lebih nyaman dipelajari dengan dirinya disisi, ketika pensil yang patah bukan lagi sebuah alasan untuk merutuki diri sendiri, ketika teguran guru atas senyumnya yang tiada akhir adalah hal yang paling tidak membahagiakan dalam hidup. Gadis berambut panjang itu terjebak memori yang terbalut ego, menggigiti kotak sadarnya dan mengunci senyumnya dalam pintu masa lalu.

Sudah bukan rahasia bahwa ada seorang lelaki yang tak tahan untuk menyatukan patahan-patahan hati gadis itu, menyatukannya menjadi satu dan mengajarinya untuk mencinta lagi. Membuka pintu-pintu masa lalu dan melepaskan apa yang dahulu tersirat jelas dalam wajah gadis itu, membuka kotak-kotak mimpi yang tak tersentuh, melukiskan warna baru dalam hari-hari yang sudah terlama dijalani dengan sendu. Tak lagi ia ingin menemukan seberkas bayangan manis yang usang, tertutup selembar ketidakpastian dan terikat dalam melodi kegelapan. Ia kusebut pemuda berkacamata.

No comments:

Post a Comment